Laporkan Penyalahgunaan

Blog berisi kumpulan produk hukum Indonesia.

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA


 

NASKAH AKADEMIK 

RANCANGAN UNDANG-UNDANG  TENTANG PERUBAHAN ATAS   UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014  TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945  (UUD  NRI  1945)  menegaskan  bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya menurut Undang-Undang Dasar.1 Penegasan kedaulatan berada di tangan rakyat menunjukkan bahwa faham negara kita adalah demokrasi dimana the government of the people, by people and for the people.2   Demokrasi  dalam  arti  sebenarnya terkait dengan pemenuhan hak asasi manusia. Dengan demikian ia merupakan fitrah yang harus dikelola agar menghasilkan output yang baik. Demokrasi pada dasarnya memerlukan aturan main. Aturan main tersebut sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Demokrasi yang banyak dipraktekkan sekarang ini adalah demokrasi konstitusional dimana ciri khasnya adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Pembatasan-pembatasan atas kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi atau dalam peraturan perundangan lainnya. Demokrasi   konstitusional   ini   sering   juga   disebut   dengan demokrasi di bawah rule of law.

Bagi negara-negara yang menganut aliran hukum eropa kontinental, rule of law mensyaratkan bahwa negara harus berdasarkan hukum (rechstaat). Dalam perkembangannya, konsep negara  hukum  terbelah  menjadi  2  (dua)  aliran  yaitu  negara hukum formil dan negara hukum materil. Berdasarkan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, konsep Negara Hukum Indonesia adalah negara hukum materil.5 Negara berdasarkan aturan  hukum,  tidak  hanya  memiliki  tanggung  jawab menjaga ketertiban, tetapi lebih daripada itu adalah mencapai tujuan nasional, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Jaminan terhadap hak asasi manusia merupakan salah satu  ciri dari negara hukum dengan Hak Asasi Manusia (HAM) karena HAM sebagai sebuah nilai universal.6 Setiap manusia berhak atas pekerjaan, penghidupan yang layak, dihargai dan diperlakukan secara   adil   dalam   kehidupannya,   karena   manusia   sebagai makhluk ciptaan Tuhan memiliki Hak Asasi yang harus dihormati oleh siapa saja, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Pasal
28 D UUD NRI 1945 :
(1)  Setiap    orang    berhak    atas    pengakuan    jaminan,  perlindungan,  dan  kepastian  hukum  yang  adil  serta pengakuan yang sama di hadapan hukum;
(2)  Setiap   orang   berhak   untuk   bekerja   serta   mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja;.

Ketentuan Pasal 28D UUD Tahun 1945 tersebut berkesesuaian dengan   tujuan negara hukum dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa dan mewujudkan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD NRI 1945. Relevansinya terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang baik, salah satunya adalah dengan membentuk suatu tatanan hukum yang mengatur mengenai aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan   peran   sebagai   unsur   perekat   persatuan   dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sebagai  negara  hukum  yang  menempatkan  semua  tugas dan tanggung jawab negara dalam hukum positif (ketentuan peraturan perundang-undangan), ketentuan tentang kepegawaian telah diatur dan beberapa kali perubahan untuk menyesuaikan dengan tuntutan nasional dan tuntutan global yaitu Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana  telah  diubah  dengan  Undang-Undang  Nomor  43  Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana diubah  dengan  Undang-Undang  Nomor  5  Tahun  2014  tentang  Aparatur Sipil Negara.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 (selanjutnya cukup  disebut UUASN) secara filosofis, sosiologis dan yuridis ternyata memiliki banyak persoalan yang justru menjauhkan negara dari tujuan negara hukum itu sendiri. UUASN ternyata tidak berpihak kepada cita-cita nasional yang tertuang di dalam Pembukaan UUD NRI 1945 yang menjadi tujuan dari negara hukum itu sendiri.

UUASN telah melakukan perubahan mendasar dalam pengaturan  tentang  pegawai  aparatur  sipil  negara  yang selanjutnya disebut pegawai ASN. UU ASN membagi manajeman ASN ke dalam Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).8

Di dalam ketentuan umum UU ASN dijelaskan bahwa PNS adalah  warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan,9   sedangkan PPPK adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan.10

Dengan pembagian tersebut maka UU ASN tidak hanya mengenal  pegawai pemerintah sebagai pegawai tetap, yaitu PNS, akan tetapi juga mulai memperkenalkan sebuah sistem kepegawaian baru berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu/kontrak, yaitu PPPK.  Namun  demikian, UUASN  sama  sekali tidak menjelaskan alasan dan kriteria mengenai pembagian manajeman kepagawaian  menjadi manajeman PNS dan PPPK. Seharusnya terdapat pembedaan berdasarkan sifat dan jenis pekerjaan. Jika dikaitkan dengan UU Ketenagakerjaan, Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap (bersifat sementara).


Sifat  kesementaraan  tersebut  diperjelas  dengan  adanya batas waktu bagi pegawai kontrak. UU Ketenagakerjaan dalam hal ini mengatur bahwa Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan  atas  jangka  waktu  tertentu  dapat  diadakan  untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.12     Dengan demikian, seseorang hanya dapat menjadi pegawai kontrak untuk masa keseluruhan paling lama 3 (tiga) tahun.  Batas waktu 3 (tiga) tahun  inilah  yang  menjadi  ukuran  dari  sifat  kesementaraan sebuah pekerjaan, sehingga apabila sebuah pekerjaan dianggap tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun, maka pekerjaan itu menjadi bersifat tetap.

Karena UUASN tidak memberikan jenis dan sifat pekerjaan bagi PPPK, bisa saja seseorang dengan status PPPK nantinya menjadi  pegawai  kontrak  namun  untuk pekerjaan yang sebenarnya bersifat tetap.   Karena sama-sama dapat diterapkan untuk pekerjaan yang sifatnya tetap (tidak sementara), maka yang menentukan apakah seseorang akan menjadi pegawai PNS atau PPPK tergantung pada peruntungan mereka.  Jika bernasib baik, ia  dapat  menjadi  PNS,  sedangkan  jika  bernasib  buruk  akan menjadi PPPK.  Tentu saja hal demikian bukanlah sebuah sistem yang baik.


Dalam perspektif filosofis, perubahan sistem kepegawaian menjadi PNS dan PPPK, pada dasarnya telah melanggar beberapa asas penyelenggaraan ASN yang dianut oleh UUASN sendiri, yaitu asas keadilan hukum dan kepastian hukum, karena adanya perlakuan yang tidak adil terhadap PPPK dibandingkan dengan PNS.

Selain masalah ketidakadilan terhadap PPPK, hal lain yang perlu disoroti adalah ketentuan mengenai Komisi ASN (selanjutnya disingkat KASN).   Menurut UUASN, Komisi ini adalah   sebuah “lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik”.13      KASN  memiliki  fungsi  untuk  melakukan mengawasi terhadap pelaksanaan norma dasar, kode etik dan kode perilaku ASN,  serta  penerapan  Sistem  Merit  dalam  Manajemen  ASN.14

Tugas  dan wewenang KASN dilaksanakan oleh 7 (tujuh) orang anggota, yang dibantu oleh kesekretariatan komisi.  Persoalannya dari ketentuan mengenai KASN ini terletak pada  urgensinya.  Penjelasan  UUASN  sama  sekali  tidak menjelaskan pentingnya pembentukan lembaga nonstruktural dibandingkan, misalnya, dengan pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang pengawasan dan penjatuhan sanksi yang selama ini dijalankan oleh Kementerian yang bertugas di bidang Pendayagunaan Apartur Negara.   Apabila tugas, fungsi, dan wewenang yang ada selama ini tidak berjalan secara baik, maka solusinya tidaklah serta merta dengan membangun lembaga baru, melainkan dapat pertama-tama dengan penguatan serta perbaikan kinerja, koordinasi, dan akuntabilitas dari Kementerian.

Masalah lainnya, perubahan manajemen aparatur sipil negara juga telah mengakibatkan hilangnya status hukum bagi  tenaga   honorer/pegawai   tidak   tetap   yang   selama   ini   telah mengabdi kepada pemerintah. Tidak ada satupun kebijakan yang memberikan perlindungan kepada tenaga honorer akibat perubahan manajemen tersebut yang seharusnya diatur di dalam ketentuan peralihan (overgang bepalingen).

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, dapat diketahui hal-hal yang hendak dikaji dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang  tentang  Perubahan  Undang-Undang  Nomor  5
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara adalah sebagai berikut:
1) perlunya    memberikan    kejelasan    definisi,    keadilan    dan kepastian hukum bagi PPPK;
2) Perlunya  memberikan  keadilan  dan  kepastian  hukum  bagi tenaga honorer/PPT yang secara khusus diatur dalam Bab Peralihan tersendiri; dan
3) perlunya mengkaji lebih dalam mengenai urgensi pembentukan KASN.


Related Posts