anggapan muncul di tengah masyarakat, seperti bahwa BPJS Kesehatan tidak menanggung seluruh obat yang dibutuhkan, obat tertentu tidak tersedia di fasilitas layanan atau masih ada iur biaya untuk obat tertentu.
Untuk diketahui, kebijakan mengenai jenis obat-obatan, termasuk obat untuk Hepatitis diatur oleh pemerintah, dalam hal ini melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan tentang Formularium Nasional (Fornas). Melalui Fornas, Kementerian Kesehatan menetapkan obat-obat apa saja yang harus tersedia di setiap fasilitas kesehatan untuk pasien JKN-KIS. Dalam proses penetapannya, Kementerian Kesehatan berkoordinasi dengan Komite Nasional yang terdiri atas unsur Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, BPJS
Kesehatan, asosiasi profesi, perguruan tinggi, dan tenaga ahli.
Fasilitas kesehatan memberikan pelayanan obat kepada peserta JKN-KIS dengan mengacu kepada Fornas yang berlaku. Biaya pelayanan kesehatan, termasuk obat-obatan kemudian ditagihkan kepada BPJS Kesehatan, yang membayarkan klaim pelayanan tersebut sesuai dengan tarif yang berlaku. Untuk pelayanan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dibayarkan dengan tarif paket kapitasi
dan tarif luar paket kapitasi. Tarif luar paket kapitasi ini salah satunya adalah obat kronis yang diberikan kepada peserta melalui skema Program Rujuk Balik (PRB).
Begitu pula pelayanan di fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL) atau rumah sakit, akan
dibayarkan dengan tarif paket INA-CBGs dan tarif luar paket INA-CBGs. Obat akut akan dibayarkan dalam paket INA-CBGs sedangkan obat kronis dan obat kanker akan dibayarkan di luar paket INA-CBGs. Salah satu obat kronis yang dibayarkan di luar paket INA-CBGs adalah obat untuk penyakit Hepatitis.
Pada prinsipnya, seluruh pengobatan Hepatitis yang dijamin oleh BPJS Kesehatan tidak terpisahkan dari obat. Obat Hepatitis dijamin seluruhnya oleh BPJS Kesehatan selama pelayanan diberikan di fasilitas kesehatan yang bekerja sama dan obat yang diberikan sesuai Fornas. Pelayanan di faskes yang tidak bekerja sama hanya dijamin oleh BPJS Kesehatan dalam keadaan kegawatdaruratan medis.
Sesuai dengan rekomendasi Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia dan Komite Nasional Fornas bahwa pemberian obat injeksi anti hepatitis B kronik atau hepatitis C kronik harus diberikan di bawah pengawasan dokter spesialis atau subspesialis guna memastikan kepatuhan peserta dan mencegah terjadinya resistensi obat. Dengan demikian, peserta penderita penyakit Hepatitis kronis yang memerlukan injeksi anti hepatitis tersebut tidak dapat mendaftarkan diri pada Program Rujuk Balik karena obat injeksi tersebut harus tetap diberikan di FKRTL atau rumah sakit.
Jika peserta rawat jalan diberikan obat injeksi anti hepatitis B kronik atau obat injeksi anti hepatitis C kronik, misalnya pegylated interferon alfa-2a (Pegasys®) atau pegylated interferon alfa-2b (Peg-Intron®), maka rumah sakit dapat menagihkan biaya obat tersebut kepada BPJS Kesehatan dan BPJS Kesehatan akan membayarnya seluruh biayanya sesuai dengan harga yang tercantum dalam e-catalogue obat yang berlaku yaitu sekitar Rp 1 juta sd Rp 1,4 juta per unit. Lain halnya jika peserta mendapatkan injeksi Hepatitis saat rawat inap, BPJS Kesehatan membayarkan biaya obat injeksi tersebut ke dalam paket INA-CBGs.
Selain injeksi pegylated interferon, terdapat obat-obat Anti Hepatitis oral yang juga tercantum dalam Fornas. Obat-obatan tersebut antara lain adefovir dipivoksil, entekavir, lamivudin, ribavirin, tenofovir, dan telbivudin.
Untuk obat-obat tersebut, dapat diberikan kepada penderita hepatitis maksimal untuk kebutuhan 30 hari. BPJS Kesehatan akan membayarkan biaya obat untuk kebutuhan maksimal 23 hari di luar paket INA-CBGs, sedangkan biaya obat untuk kebutuhan minimal 7 hari sudah termasuk dalam paket INA-CBGs yang dibayarkan kepada Faskes.
Tercantum juga obat anti hepatitis yang disediakan melalui program khusus penanganan hepatitis oleh pemerintah yaitu simeprevir tablet 150 mg dan sofosbuvir tablet salut 400 mg. Obat program khusus ini didistribusikan melalui Dinas Kesehatan masing-masing Kabupaten/Kota. Rumah sakit diperbolehkan memberikan obat di luar Fornas, tetapi dengan ketentuan biayanya tidak dibebankan kepada pasien, kecuali atas permintaan sendiri oleh pasien yang bersangkutan. Jika ada bukti rumah sakit membebankan biaya obat kepada pasien, maka peserta dapat melaporkan ke BPJS Kesehatan setempat. Selanjutnya BPJS Kesehatan akan melayangkan surat peringatan sesuai dengan isi perjanjian kerja sama antara BPJS Kesehatan dengan rumah sakit. Surat peringatan tersebut bisa dilayangkan tiga kali. Bila tetap tidak diindahkan, BPJS Kesehatan bisa melakukan pemberhentian kerja sama.
Penanganan peserta JKN-KIS dengan diagnosa Hepatitis sama dengan pasien penyakit lainnya. Untuk memanfaatkan layanan ini, peserta harus memastikan bahwa status kepesertaannya masih aktif baik untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), Peserta Penerima Upah (PPU) atau karyawan, Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau Bukan Pekerja (BP). Selain itu, pastikan untuk mengikuti prosedur dan ketentuan yang berlaku. Sumber Majalah BPJS Kesehatan