Laporkan Penyalahgunaan

Blog berisi kumpulan produk hukum Indonesia.

Anak Berbakat Kebahagiaan Orangtua?

Anak Berbakat Kebahagiaan Orangtua?

Syukurlah anda tertarik membaca tulisan ini. Yah, mungkin karena anda menanyakan hal yang sama, anda punya jawaban atas pertanyaan tersebut, atau anda bertanya-tanya mengapa saya mempertanyakan hal itu. Tidak masalah dengan alasan ketertarikan anda pada judul di atas, yang penting anda telah menyediakan energi untuk sama-sama membahas persoalan ini.

Saya mempertanyakan hal itu karena seringkali saya mendapati para orang tua, terutama kaum ibu, begitu serius ketika terlibat pembicaraan mengenai prestasi yang dicapai anak-anak. Bahkan tidak jarang saya mendapat kesan para ibu saling berlomba memproklamirkan kehebatan anak-anak mereka.

Fenomena ini sudah saya rasakan sejak lebih dari lima tahun lalu dan salah satu mata rantai dari fenomena ini adalah booming pengembangan sekolah-sekolah unggulan beberapa tahun silam. Sampai akhirnya kini muncul tren sekolah bilingual dan kurikulum ganda (nasional dan internasional, mengadopsi kurikulum dari luar negeri). Masalahnya, saya khawatir masyarakat kita jadi korban industrialisasi dunia pendidikan. Sekolah bukan lagi usaha membimbing anak menggapai ilmu pengetahuan, tapi adalah sarana menuju kemenangan. Lihat saja, sekarang hampir semua anak sekolah tidak hanya belajar di sekolah. Mereka juga ikut les privat dengan alasan membantu pemahaman tentang materi ajar di sekolah dan juga les non-akademik demi pengembangan bakat (katanya). Sampai-sampai pernah ada murid saya yang tidak punya waktu bermain karena 7 hari seminggu harus berkutat dengan sekolah, les pelajaran, les piano, les bahasa asing, juga bantu orangtuanya bekerja. Saya tidak habis pikir ada orang tua setega itu, seacuh itu. Ini penghakiman memang, tapi ini juga fakta karena si anak jelas mengeluh pada saya dan prestasi belajarnya sama sekali tidak terbantu.
bakat anak
Dari sini saya merasa perlu bicara dengan para orang tua (dan juga guru?). Kenapa Bapak/ Ibu seringkali menilai anak-anak itu malas dan tidak punya motivasi untuk mencapai hasil terbaik? Kenapa Bapak/ Ibu selalu menyuruh anak-anak untuk belajar, bahkan ketika liburan sekolah? Saya perlu tanyakan ini karena sepengetahuan saya, tak ada orang yang tidak butuh istirahat. Seperti juga kita yang setiap hari bekerja, anak-anak juga perlu istirahat dan rekreasi. Saya juga tidak setuju bila dikatakan mereka malas karena seperti juga kita semua, hanya akan melakukan sesuatu bila kita mau dan atau merasa perlu melakukan itu.

Kebutuhanlah alasan utama mengapa orang berbuat. Dengan demikian, kita tidak boleh menyimpulkan seorang anak malas sebelum kita mengetahui alasan dia menampilkan perilaku seperti itu. Contoh: soal sekolah. Memang sudah jadi rahasia umum bahwa hampir semua anak tidak suka bersekolah. Tapi hampir tidak pernah ada pembicaraan mengapa mereka jadi tidak suka sekolah, padahal hampir semua anak juga mengatakan bahwa sekolah diperlukan.

Sampai di sini, kita telah masuk pada persoalan kedua. Salah satu kebutuhan vital buat kita semua: kenyamanan. Kita tidak akan dapat melakukan apapun dengan hasil memuaskan ketika kita tidak dalam kondisi nyaman, fisik dan psikis. Coba saja, bagaimana mungkin kita dapat bekerja baik ketika kita sakit. Bagaimana mungkin kita bisa bekerja dengan nikmat ketika setiap hari selalu saja dihantui kedatangan debt collector akibat kita tidak dapat melunasinya. Demikian juga anak. Tidak mungkin
mereka bisa menikmati aktivitas sekolah ketika dia merasa kegiatan bersekolah tidak membuat nyaman akibat berbagai tekanan yang didapatnya. Apalagi lalu aktivitas itu menguasai kehidupannya sampai saat liburan sekolahpun mereka masih harus berurusan dengan beribu tugas yang dibebankan guru + celoteh orang tua soal belajar.

Intermezo saja, saya ingin memberi kritikan. Biasanya guru memberi tugas saat liburan dengan alasan anak tidak akan belajar jika tidak diberikan tugas. Pertanyaan saya, Bukankah liburan itu memang saatnya istirahat dari segala kepenatan aktivitas sekolah? Menjawab pertanyaan itu, ada guru yang berkata bahwa dia masih mengerjakan tugas saat liburan dan saya selalu saja mengatakan, Kalau kamu memilih jadi guru dan membawa pulang  ekerjaan, bukan berarti murid-murid itu harus melakukan hal yang sama. Mereka boleh saja punya pilihan sendiri, mau istirahat, bermain atau tetap
belajar saat liburan.

Kita kembali pada fokus pembicaraan. Jadi, jelas kita tidak boleh memaksakan apa yang kita anggap baik kepada anak-anak. Sekalipun kita tahu si anak punya potensi yang sangat bisa dikembangkan. Jika hal itu dilakukan, saya lebih dari yakin bahwa anak tidak akan merasakan kebahagiaan akibat
rasa tertekan yang dialaminya. Ujungnya, hasil optimal yang diharapkan akan semakin jauh dari jangkauan. Walau begitu, bukan berarti kita tidak perlu melakukan apapun. Ada satu hal yang justru wajib kita lakukan agar anak-anak itu dapat mencapai hasil optimal sesuai potensinya. Satu hal untuk setiap sudut pandang.

Kalau anda menilai anak berbakat adalah kebutuhan, artinya anak berbakat adalah aset guna meraih kebahagiaan, satu hal itu adalah: membuat anak membutuhkan hal itu. Tidak ada orang lapar dan tidak berusaha mati-matian untuk mendapatkan makanan. Jadi agar anak mau melakukan apa yang anda inginkan, anda hanya perlu menciptakan kebutuhan itu dan dia dengan sendirinya akan berusaha mendapatkannya. Anda tidak lagi perlu memaksa/ memarahinya.

Jika anda menilai anak berbakat sebagai sebuah kebahagiaan, maka satu hal yang perlu anda lakukan adalah: membimbing si anak untuk mensyukuri apa yang dimiliki dengan merawat dan mengembangkan kelebihannya itu.

Sekarang kita bicara dampak yang dihasilkan tiap sudut pandang itu. Jika anda pakai sudut pandang kebutuhan, sangat mungkin anda akan memacu anak demi mencapai puncak prestasi dan mendapat kebahagiaan dengan memenangkan persaingan. Dalam hal ini, anda perlu mempersiapkan diri untuk mengatasi persoalan yang akan anda hadapi. Diantaranya, anak ternyata tidak memiliki potensi sebesar yang anda kira. Anak mogok karena kejenuhan yang dirasakan sudah mencapai puncaknya. Atau si anak meninggalkan anda, dalam arti emosional dan atau fisik.

Jika berhasil menciptakan kebutuhan itu dan anak akhirnya melakukan apa yang anda inginkan, jangan kaget ketika satu saat anda merasa dia jadi kurang ajar karena merasa hebat. Artinya, jika ini yang anda rencanakan, coba pelajari dulu potensi anak sebenarnya, keinginan dan kebutuhan si anak, dan siapkan juga pendidikan moralnya agar dia benar-benar bisa menjadi seperti yang anda inginkan.

Terakhir, anda tetap perlu menyadari bahwa bukan anda yang melakukan. Jadi keberhasilan sepenuhnya tergantung si anak, bukan anda yang menentukan. Siapkan juga agar anda tidak frustrasi ketika keinginan itu tidak tercapai.

Sekarang dampak apa yang kira-kira terjadi jika anda mengacu pada sudut pandang kebahagiaan. Sangat mungkin anda akan memberi pilihan kepada anak dan biarkan dia membuat keputusannya sendiri. Dasarnya, jelas karena anda ingin anak menikmati keberbakatannya itu sehingga akhirnya bisa berkembang mencapai titik optimal.

Resikonya, anda mungkin saja akan mendapati anak berganti-ganti aktivitas. Entah karena bosan atau merasa tidak mampu. Anda perlu mencermati hal ini karena intensitas rasa bosan dan atau kegagalan akan dapat membuat anak frustrasi. Jadi anda perlu mendampingi dengan memberi pengetahuan
tentang pilihan yang ada secara komprihensif agar dia benar-benar mengerti apa yang akan dihadapi bila memilih yang ini dan apa yang terjadi jika pilih yang itu.


Anda berorientasi mengelola apa yang dimiliki anak. Hal ini membuat anda memiliki resiko frustrasi lebih sedikit dari mereka yang memandangnya sebagai kebutuhan. Anda mengajak anak untuk menikmati apa yang dimiliki, bukannya berusaha mendapatkan yang belum ada sehingga anda cenderung tidak pasang target prestasi.

Itu sisi lain yang perlu diperhatikan. Artinya, sudut pandang anda tentang keberbakatan mungkin membuat anak terlihat tidak punya motif berprestasi. Jangan sampai anda akhirnya memarahi anak karena prestasinya tidak berada pada tingkat terbaik. Anak anda sangat mungkin akan berada pada
skala rata-rata atau rata-rata atas tapi bukan terbaik karena tujuannya menikmati apa yang dia lakukan, bukan untuk menjadi yang terbaik. Itulah hasil terbaik yang dicapainya dan itu juga yang anda targetkan, anak berbahagia atas apa yang dimiliki dan mensyukurinya dengan merawat dan
mengembangkannya.

Apapun yang anda inginkan, apapun pendapat anda tentang anak berbakat, anak tetap anak. Jangan menempatkan anak sejajar dengan orang dewasa karena anak jelas bukan orang dewasa berukuran mini. Anak punya dunia sendiri dan kita wajib menghormatinya. Anak adalah manusia utuh yang juga punya hak asasi. Mari kita perlakukan anak sebagaimana diri kita juga ingin diperlakukan. Biar mereka belajar dari apa yang kita lakukan. Biar mereka mendapat pengetahuan, kebijakan dan kebahagiaan dengan caranya sendiri.

Related Posts