Tidak dipungkiri, ada sebagian orangtua yang merasa senang jika anak justru menjadi ‘leader’ dan mampu menjadi pengendali di lingkungan teman bermainnya dan tidak dipungkiri pula jika ada yang memiliki potensi-potensi kepemimpinan ini, meski dalam skala kecil yaitu teman permainan. Anak-anak ini biasanya adalah anak-anak yang ketika bermain dengan teman-temannya ia selalu menjadi pengatur permainan, memoderasi teman-temannya yang lain.
Tentu saja anak-anak yang punya  potensi leader itu sangat baik.  Anak-anak ini bisa menjadi potensi  pemimpin-pemimpin masa depan.  Tetapi, meski itu baik, ada batas-batas  tertentu yang diterima dan  batas-batas yang tidak diterima. Saat anak  melakukan melampaui batas  orangtua seharusnya membimbing anak untuk  tegas tidak melewatinya. Jika  tidak, maka dia hanya akan menjadi  pemimpin yang sewenang-wenang di  masa depan.
Pertanyaannya, sudahkah orangtua memberikan batasan yang jelas tentang hal ini?
Misalnya  seperti perkataan berikut  “Abah saat anak saya dipukul  temannya,  orangtua teman anak saya yang memukul malah diam saja.  Mungkin alasannya  adalah urusan anak. Orangtua nggak usah ikut campur”,  ini adalah bentuk  tidak adanya batasan yang jelas. Pemahaman orangtua  tidak ikut campur  ada batasannya. Tidak mungkin kan misalnya orangtua  harus nunggu anaknya  saling lempar batu hingga berdarah baru orangtua  bertindak?
Jadi,  batasannya seperti apa? Kita mulai dari, seperti biasa, curhat  dari  para orangtua pada saya. Untuk diketahui, curhat tentang anaknya  yang  memukul adalah curhat yang paling saya dengar saat saya mengisi   sesi-sesi seminar untuk orangtua. Saya ambil dua curhat yang mirip.
“Abah, anak saya yang berusia 5 tahun, laki-laki, mulai pintar menjawab dan mulai meniru teman-teman sekolahnya "memukul"! Setiap kali dia punya masalah, baik itu dengan adik, bapak, teman, sepupunya, dia akan memukul orang tersebut lalu meninggalkannya. Perlukah hukuman kami terapkan?”
Pertanyaan sejenis, “Abah bagamana kalau anak kita suka memukul (3 tahun)? Kalau ada temannya tidak sesuai yang dia maksud dia pukul padahal selama ini berusaha mendidik dengan kelembutan, anak tidak pernah diajarkan memukul lho?”
Anak-anak pada awalnya belum bisa  memahami tentang nilai baik dan  buruk. Pun demikian dengan  perbuatan-perbuatan seperti: menggigit,  memukul, mendorong, menendang,  menarik, berteriak, menjambak atau yang  sejenis ini, mereka tidak faham  tentang bahwa perbuatan-perbuatan ini  baik atau buruk.
Anak-anak  ini sampai dia dapat membedakan mana tangan kanan dan mana  tangan kiri,  mereka belum terang betul tentang nilai baik dan buruk  atau sampai  orang dewasa di sekitarnya mengenalkan nilai baik dan buruk  tersebut.
Anak-anak  ini tengah mengujicoba perilaku. Anak-anak ini dengan otak  sederhanya,  semacam melakukan penelitian-penelitian perilaku, meski  mungkin tidak  ilmiah. Coba ingat-ingat, bukankah sebagian Anda masih  ingat ketika  kecil dulu, pada saat apa meminta paling tepat pada  orangtua? Ya betul,  ketika ada tamu! Siapa yang mengajarkan? Tidak ada!  Darimana kita tahu  kalau ada tamu, orangtua sering ngasih? Ya dari  ujicoba perilaku kita  bukan?
Lepas dari diajarkan teman atau tidak, lepas dari pernah melihat tayangan kekerasan di televisi atau tidak, hampir semua anak akan mencoba melakukan salah satu tindakan tadi. Apalagi dapat contoh yang nyata dari teman atau televisi.
Sebagaimana tubuh, dalam otaknya, secara alamiah anak-anak memiliki   semacam sistem pertahanan tubuh yang sudah diinstallkan otomatis oleh   Allah dalam otaknya. Bagian otak ini saya kutip dari buku “accellerated   learning” adalah bagian otak reptil. Saat manusia merasa terancam,   dimulai dari anak-anak, mereka mulai mengembangkan sistem pertahanan   tubuhnya tersebut: lari atau lawan! Misalnya saat seorang anak, maka   anak yang dipukul temannya hanya akan memiliki dua kemungkinan tindakan:   “lari” (dari masalah) dengan cara lari beneran, lapor orangtua, diam   saja ketika dipukul sampai nangis atau kemungkinan kedua yaitu “lawan”   dengan cara “balas memukul sampai berantem fisik betulan”.
Demikian  juga saat dia merasa tidak nyaman, saat dia merasa dirugikan,  saat  merasa kepentingannya terganggu, hampir semua anak akan melakukan  salah  satu tindakan berikut: menggigit, memukul, mendorong, menendang,   menarik, berteriak, menangis, ngamuk, menjambak atau yang sejenis ini,   mereka tidak faham tentang bahwa perbuatan-perbuatan ini baik atau   buruk. Bagaimana kalau anak melakukan semuanya? Wah anak “istimewa”   berarti semua sistem pertahanan tubuhnya dia ujicoba.
Yang  jadi sasaran bisa siapa saja seperti curahan hati orangtua yang  suda  saya sebutkan tadi: ibunya, ayahnya, sepupunya, nenek kakeknya,   kakaknya, pembantunya, temannya atau siapapun yang merasa menjadi pihak   yang mengganggu kepentingan anak ini. Anak saya nomor tiga, perempuan,   waktu berusia 4 tahun, justru malah sering ‘nangisin’ kakaknya yang   laki-laki, usia 7 tahun. Tapi meski demikian, secara umum, yang paling   sering adalah pihak yang lebih lemah dari dirinya: adik, teman yang   lebih kecil, anak perempuan (oleh anak laki-laki).
Ok, jadi apa yang harus dilakukan? Orangtua harus melakukan tindakan! Tindakan di “TKP” tentu berbeda dengan tindakan di luar “TKP.
Ini tindakan yang dapat orangtua lakukan di “TKP”. Pertama, saat anak memukul hentikan segera! Jangan   pernah biarkan berlanjut. Kalau Anda seorang ibu yang dipukul anaknya,   jangan sekadar ngomong “mama sakit, berhenti!”, bukan, bukan sekadar   itu. Tapi pegang tangannya, lalu setelah baru ngomong “berhenti, mama   sakit” ucapkan dengan tenang tapi tegas! Atau saat memukul temannya   “berhenti, temannya bisa sakit!”.
Saat Anda mengucapkan  kalimat itu, Anda harus kontak dengan matanya,  tatap mata anak Anda  dengan serius. Ini menunjukkan bahwa Anda  benar-benar “mean” atau  bermaksud menyatakan itu dengan serius.
Sebagian orangtua  saat dipukul anaknya diam dan malah memenuhi  keinginan anak yang tadi  ditolaknya sendiri “sudah jangan pukul mama,  mama sakit, ini uangnya,  beli es krim sana”.  Lalu dalihnya, “daripada  saya dipukul-pukul terus  dan daripada nangis dan ngamuk terus-terusan?  Ya saya kasih aja es krim  nya?” Tindakan ini justru malah makin  mengekalkan perbuatan buruk anak  Anda sendiri.
Tahukah Anda apa yang akan terjadi kemudian?  Dalam pikirannya jika itu  terus-terusan terjadi anak akan memiliki  rumus “semakin orangtua  diganggu, semakin mendekati ya”. Hari ini  nangis, besok tambah teriak,  besok besok tambah guling-guling,  besok-besok tambah mukul orangtua dan  yang paling bahaya adalah ketika  anak berhasil pada titik “ngancam”  orangtua saat keinginannya tidak  dipenuhi seperti “kalau ayah nggak mau  beliin mainan, aku nggak mau  makan” atau “kalau mama nggak belikan  itu, aku nggak mau sekolah”. 
Dan  ini kenyataan yang diceritakan oleh sebagian orangtua pada saya, di   Bandung ada seorang anak SD saat keinginannya tidak dipenuhi ada yang   naik ke genteng, lalu mengancam “Kalau mama nggak beliin playstation,   aku loncat nih!” atau seorang ibu di Blangpidie Aceh berkata saat   anaknya yang masih TK minta jajan lalu nggak dipenuhi anaknya selalu   megang pisau lalu berkata “kalau mama nggak beliin, nanti abang bunuh   diri nih!” saya tidak bermaksud menakut-nakuti Anda “segitunya”, tapi   saya hanya ingin mengatakan bahwa kejadian-kejadian yang sudah parah ini   tidak datang dengan sendirinya.
Inilah akibat dari orangtua tidak konsisten, tidak tegas dan terus   membiarkan apa yang dilakukan anaknya! Perhatikan, bertindak lembut pada   anak itu boleh tapi maaf “haram!” hukumnya lembek pada anak! Bertindak   lembut pada anak adalah tanda kasih sayang, tapi bertindak lembut   tidaklah sama dengan harus memenuhi semua keinginan anak atau lembek   pada anak.  Demikian juga anak merasa marah, ngambek, nangis, capek,   letih, lapar, bosan, juga boleh, tapi cara menyalurkannya yang harus   terus kita bimbing sehingga tidak membahayakan dirinya dan tidak   merugikan orang lain.
Saat anak memukul, awalnya anak hanya mengujicoba perilaku dan sebagai bentuk ekspresi marah, tidak suka, ada ketidaknyamanan. Tapi saat anak memukul orangtua, lalu orangtua yang dipukul anak tadi diam dan hanya ngomong “mama sakit” justru anak akan tau bahwa anak merasa dapat mengendalikan situasi dan bukan orangtua yang megendalikan situasi.
Saya ingin  menjelaskan panjang lebar tentang hal ini agar terang  benderang mengapa  kita tidak boleh diam saat anak memukul. Sekali lagi  kita harus  menunjukkan ketidaksetujuan kita pada anak saat anak  melakukan sebuah  perbuatan yang tidak baik. Katakan bahwa anda tidak  suka, katakan bahwa  anda kecewa, sedih... tunjukkan melalui kata-kata  tegas tapi tidak  keras.. boleh tunjukkan ekspresi kekecewaan Anda,  sambil memegang  tangannya. 
Saat anak Anda dipegang, mungkin dia akan  meronta-ronta, mungkin dia  akan menangis, mungkin dia akan  menjerit-jerit. Apapun yang terjadi  jangan pernah ‘kalah’ dengan keadaan  ini. Anda harus dapat  mengendalikannya dan bukan membiarkannya di lepas  dan lalu memukul  lagi. Jika anak nangis, tidak usah dipegang lagi jika  anak berhenti  memukul, dan hey... biarkan dia menangis dan meluapkan  kekesalannya,  itu jauh lebih baik daripada memukul.
Jika anak menjerit-jerit histeris dan Anda malu pada orang lain, heyy   ingat-ingat juga, orang lain tidak akan pernah bertanggung jawab dengan   anak Anda. Jika Anda tidak tahan, solusi lain adalah pulang! Jika   terjadi di supermarket, lebih baik tidak jadi belanja! Merepotkan   memang, tapi ini risiko yang harus Anda ambil. Jika terjadi di lingungan   tetangga, bawa anak masuk rumah.
Kedua, biarkan anak mengeluarkan apa yang dirasakan dan dipikirkannya. “coba katakan pada ayah, kenapa kamu memukul”. Jika anak kesulitan mengungkapkan apa yang dia rasakan atau yang dia pikirkan, bantu dengan mendefinisikannya dengan kalimat-kalimat spesifik “Kamu marah ya sama mama karena tak mau belikan kamu mainan? Atau “kamu marah sama teman kamu? Apa yang membuat kamu marah? Coba ceritakan sama mama”.
Selain  karena anak tengah mengujicoba perilaku, perilaku memukul anak  juga  semakin kekal terjadi salah satunya akibat anak memiliki kesulitan  untuk  mengkomunikasikan perasaan tidak nyamannya tadi melalu  perkataan.  Anak-anak ini tidak dilatih atau memang dibesarkan dari  orangtua yang  sering membungkam perasaan anak. Akibat mulutnya  tersumbat maka ia  mengeluarkan perasaan tidak nyaman tadi dengan jalan  lain yaitu dengan  tangannya (mukul). Akibat jarang didengarkan keluh  kesahnya, curhatnya,  saat anak punya masalah sebagian anak mengurung di  kamar sendirian atau  saat pulang banting pintu, lempar barang dan  lain-lain.
Jika  anak masih kesulitan bicara, jangan paksa ia bicara. Yang penting  Anda  sudah menghentiikan (sementara) perbuatannya. Anda boleh  melanjutkannya  nanti saat tentang di luar “TKP”. Di rumah, sebelum  tidur, pada saat  santai dan lain-lain. Anda punya banyak waktu untuk  membahasnya nanti.
Ketiga, berikan batasan-batasan. Jika hanya baru   sekali memukul mungkin tidakan pertama dan kedua sudah cukup, tidak usah   bereaksi berlebihan lagi. Tapi jika anak mengulangi lagi, berikan   tindakan yang ketiga ini. Memberikan batasan artinya anda memberikan   “rule of the games” yang jelas mana yang diterima dan mana yang tidak   diterima. “Marahnya boleh, memukulnya tidak diterima”.
Lalu  berikan konsekuensi-konsekuensi jika anak melampaui batas-batas  yang  telah ditetapkan. Batas tanpa konsekuensi sering tidak berdampak  apapun.  Bagai macan tanpa gigi, demikian saya sering menyebutnya.  “Nonton tv  boleh, tapi paling lama dua jam ya!” ini adalah tindakan  bagus, karena  memiliki batasan yang jelas, hanya saja tanpa disertai  konsekuensi akan  percuma.
Konsekuensi apa yang akan anak dapatkan jika melebihi dua jam? Jika tidak ada, maka anak akan terus mencoba melanggar batas tersebut. Diberikan konsekuensi saja anak akan terus mencari cara melanggar batas apalagi tanpa konsekuensi.
“Saya matikan tv-nya jika sudah dua jam anak masih nonton”, demikian papar seorang ayah. Perhatikan ini bukanlah konsekuensi! Sebaba sama sekali tidak membuat anak rugi. Ingat anak punya otak dan kita sudah bahas semua anak melakukan semacam ‘penelitian’ perilaku. Dalam pikiran si anak akan muncul rumus “nanti lagi nonton aja terus, kalau lebih paling juga dimatiin sama ayah!”
Konsekuensi dibuat jika anak terus mencoba mengulangi perbuatan buruk tadi.  Konsekuensi terbaik adalah apa yang membuat anak rugi! Tidak ada  nonton  tv dua hari jika nonton tv melebih batas yang ditetapkan adalah  contoh  yang benar-benar sejati konsekuensi! Tapi ini sekadar contoh.   Anda bisa  berkompromi dengan anak untuk mencari alternatif-alternatif  konsekuensi  lain yang membuat anak rugi.
Anda bisa mengajak anak bicara untuk menemukan konsekuensi apa yang mungkin anak dapatkan saat anak mengulangi perbuatan memukulnya tersebut. Misalnya “untuk setiap memukul mama, adik, kakak, atau sipapun kamu akan mama pisahkan selama 30 menit di kamar kamu agar kamu dapat merenungkan bahwa perbuatan kamu itu tidak diterima di keluarga ini dan karena itu kamu sementara tidak boleh bergabung dengan yang lain selama waktu pemisahan tersebut”.
Nanny 911 menyebutnya sebagai  “time out”, jika anak Anda balita, anda  boleh mengikuti a la Nanny  dengan mendudukkan anak di kursi. Tapi saya  cenderung mempraktikkan cara  isolasi dikeluarkan dari rumah atau  dimasukkan ke dalam kamar. Boleh  tak setuju, karena anak-anak balita  cenderung tidak merasa kerugian  apapun jika hanya didudukkan di kursi.  Anak-anak 5 tahun atau lebih  dapat dimasukkan ke kamarnya sendiri (asal  jangan kamar mandi atau  gudang), sedangkan anak-anak di bawah 5 tahun  jika situasi di dalam  rumah isolanya dapat berupa dikeluarkan dari  rumah. Anak 2 tahun cukup 2  menit, anak 3 tahun cukup 3 menit, dst  sampai anak 5 tahun.
Atau jika pun Anda setuju dengan cara ini, Anda boleh cari konsekuensi alternatif yang lain saat anak memukul anak akan mendapatkan kerugian apa? Satu kali memukul, uang saku dikurang dengan jumlah tertentu? Satu kali memukul tidak ada nonton selama beberapa hari tertentu? Atau apapun terserah Anda yang membuat anak rugi.
Konsekuensi-konsekuensi ini bertujuan untuk menguatkan pikiran anak bahwa perbuatannya benar-benar tidak diterima dan karena itu setiap satu tindakan buruk dia akan menerima kerugian yang dia akan terima sendiri.
Keempat, bantu anak cari alternatif tindakan. Mungkin anak tidak tahu bahwa ada cara lain selain memukul untuk mengungkapkan ketidaksetujuan, kekecewaan, kemarahan dan lain-lain. Bukan hanya anak yang sering dipukul, anak-anak yang suka memukul juga harus dilatih kemampuan asertif, yaitu kemampuan untuk menyampaikan pendapat atau opini pada orang lain dengan cara yang tepat. Hal ini termasuk kemampuan untuk mengatakan TIDAK atas tekanan-tekanan yang dia alami saat dia merasa dirugikan dan hanya bukan dengan cara kekerasan.
Saat anak memukul temannya mungkin anak tidak tahu bahwa selain memukul dia juga bisa bicara jika marah dengan temannya. Nah bantu anak untuk menemukan ini. “Kalau kamu marah sama Andi temanmu, karena Andi merusak mainanmu, kamu boleh marahin dia, tapi bukan dengan memukul, kamu cukup ngomong kepada dia untuk bertanggung jawab meminta maaf. Tapi kalau Andi tidak mau melakukannya, kamu boleh tunjukkan bahwa kamu marah sama Andi dengan cara tidak meminjamkan mainan pada Andi sampai Andi meminta maaf”.
Anak-anak tentu saja tidak langsung terampil berkomunikasi seperti ini sebagaimana orangtua juga tidak langsung terampil berkomunikasi dengan anaknya seperti ini bukan? Karena itu teruslah bantu anak berlatih sebagaimana Anda teruslah berlatih. Bantu anak untuk bekerjasama mencari alterantif-alternatif tindakan yang bukan melulu dengan cara kekerasan.
Apapun tindakan, mungkin tidak langsung membuat anak berhenti, sebagian anak mungkin akan mencoba mengulangi perbuatannya. Karena itu tetaplah orangtua secara konsisten mencegah dan menunjukkan ketidaksetujuannya. Insya Allah susatu saat anak akan berhenti dan akan capek sendiri. Tetapi jika orangtua berhenti, maka justru anak akan semakin menjadi.
Untunglah Allah mengkreasikan sel-sel neuron anak yang jumlahnya neuron itu nyambung sedikit demi sedikit. Akibat ini, anak-anak ini memiliki abstraksi waktu yang terbatas. Akibat ini, meski anak-anak ini pernah saling menyakiti, sering berantem, thansk god, alhamdulillah, anak-anak kita tidak akan pernah memiliki rasa dendam. Hari ini berantem, sejam kemudian bisa jadi akur lagi. Kemarin berantem, hari ini akrab lagi. Maka, jangan sampai anak sudah berhenti, orangtua anak masih bersungut-sungut dan masih perang dingin dengan orangtua tetangga.
Tindakan apa yang dapat dilakukan di luar “TKP”? Orangtua hendaknya terus istiqomah untuk menanamkan nilai-nilai perilaku pada anak tentang baik dan buruk tersebut melalui cerita, dongeng, kisah, obrolan santai dengan anak, contoh-contoh tindakan di rumah.
Nilai-nilai ini akan menjadi program pikiran anak suatu saat anak membutuhkannya. Program pikiran ini akan menjadi ‘guidance’ dari perilakunya kelak. Nilai ini semacam software yang dibutuhkan semua anak. Jika perilaku anak adalah hardwarenya, maka nilai-nilai yang tertanam dalam pikiran anak itulah softwarenya. Ketahuilah semua anak butuh nilai ini, jika bukan kita yang menanamkan nilai-nilai ini pada anak, jika kita tidak menyediakan waktu untuk anak-anak kita, jika kita tidak menginvestasikan waktu untuk anak kita hari ini, maka akan ada pihak lain yang menanamkan nilai ini pada anak. Pihak lain ini bisa berupa: televisi, lingkungan pergaulan dan lain-lain. Relakah kita jika anak kita mendapatkan nilai-nilai perilaku hanya dari teman-teman gank-nya?
Ini hanya salah satu input yang mungkin pernah Anda terima. Tapi input apapun, dari buku, dari televisi, dari seminar, dari tulisan yang bertebaran, sama sekali tidak berguna jika orangtua terus menutup dirinya dengan berkata “teorinya si gampang, praktikknya susah!” Ketahuilah mungkin tidak mudah mempraktikkannya, perlu terus berlatih untuk melakukannya. Tetapi jika Anda masih memiliki paradigma ini dan masih terus berpikiran seperti ini, justru itu makin melemahkan diri Anda sendiri. Saya ingin tutup dengan perkatan yang mungkin dapat memotivasi diri Anda yang tengah giat belajar dan akan terus saya sering ungkapkan “bukankah akan ada perbedaan orangtua yang belajar dengan yang tidak?”
